Selasa, 19 Juli 2011

Masih Berjuang Menjadi Negara Maritim


KOMPAS.com - Indonesia dengan luas wilayahnya yang sebagian besar lautan, sepantasnya disebut negara maritim. Namun, sebutan negara maritim yang sudah melekat pada masyarakat Indonesia ternyata belum terbukti. Masih banyak yang harus diperbaiki terutama dalam hal eksplorasi kelautan.

Hal ini disampaikan Prof. Jamaludin Jompa dari Coral Reef Rehabilitation and Management dalam forum weekend tentang Konservasi Kelautan Indonesia. "Apa yang menunjukkan kita negara maritim? Penelitian-penelitian kita saja masih terlalu kecil untuk bisa mengetahui potensi maritim yang dimiliki Indonesia," ujar Jamaludin di Newseum, Jakarta, Sabtu (16/7/2011).

Padahal, menurut Jamaludin, Indonesia termasuk ke dalam Coral Triangle, yakni Negara dengan potensi maritim terbesar di dunia. "Di dunia ini, ada tiga besar wilayah yang memiliki potensi maritim terutama terumbu karang terbesar, yakni wilayah Amazon di Amerika, wilayah Congo Basir di Afrika, dan Coral Triangle di Indonesia. Enam puluh persen terumbu karang Indonesia ada di wilayah timur, dengan jumlah lebih dari 500 spesies," jelasnya.

Dr. Yulian Paonganan, Msc, Direktur Indonesia Maritime Institute yang juga hadir dalam forum ini menambahkan, Indonesia memiliki potensi maritim senilai Rp 7 ribu trilyun per tahun. "Angka tersebut bisa didapatkan Indonesia jika potensi maritim dikelola dengan baik. Indonesia adalah negara dengan hasil alam yang besar, namun tidak bisa mengolahnya. Hampir 90 persen potensi migas kita dikelola asing. Bahkan mungkin tidak banyak yang tahu kalau Raja Ampat adalah penghasil nikel terbesar di dunia. Kapal Sinar Kudus yang dibajak kemarin juga membawa nikel Indonesia senilai Rp 6,5 trilyun, padahal baru berupa kapal kecil," ujarnya.

Yulian menambahkan, sayangnya pelaksanaan konservasi kelautan Indonesia masih berbentuk parsial. "Indonesia masih terkotak-kotak dengan desa, kecamatan, kabupaten, padahal pengelolaan sumber daya alam harus terintegrasi, bukan parsial. Contohnya, apa yang dilakukan di gunung, akan berpengaruh di laut. Tapi tidak banyak masyarakat atau aparat pemerintah yang tahu sampai sejauh ini," tambahnya.

Irwan Mulyawan dari Ikatan Sarjana Kelautan, dalam forum ini menambahkan, masalah otonomi memang menjadi salah satu masalah maritim di Indonesia. "Hal-hal yang menyebabkan Indonesia masih jauh dari istilah negara maritim adalah karena tumpang tindihnya masalah otonomi. Para pejabat di daerah masih belum bersinergi untuk mengelola kelautan secara bersama-sama. Selain itu, belum adanya pendanaan khusus untuk pengelolaan. Tapi pengelolaan juga butuh penelitian dan penelitian ini masih sangat minim karena belum ada indikator yang efektif untuk mengukur keseimbangan ekologi," ujar Irwan.

Prof. Jamaludin juga menyampaikan bahwa masalah utama sulitnya Indonesia menjadi negara maritim adalah masalah penelitian. "Kemampuan riset dan teknologi Indonesia masih jauh dari negara lain. Maritim Indonesia masih terlalu misteri untuk dikelola dengan mudah. Indonesia banyak mengalami pencurian karena penelitian yang kurang. Kita tidak tahu bahwa potensi alam kita sudah dicuri oleh negara lain karena pengetahuan kita akan kekayaan laut sangat kurang. Oleh karena itu, masalah fundamental yang harus dibenahi sekarang ini adalah memahami kekayaan laut Indonesia," jelas Jamaludin.

Sementara Yulian menambahkan, Indonesia juga sering melakukan penelitian yang tidak berkelanjutan. "Banyak penelitian yang tidak berkelanjutan. Padahal hasil penelitian harus berupa aplikator agar bisa dipakai untuk eksplorasi. Namun kenyataannya, berapa banyak penelitian mahasiswa yang berhenti setelah mendapat gelar sarjana? Bagaimana dengan pembangunan dermaga yang masih setengah jadi sudah ditinggalkan? Contoh-contoh seperti ini harus menjadi perhatian. Aktivis, akademisi, dan penentu kebijakan di Republik ini harus nyambung. Ketiga elemen ini harus bekerja sama agar penelitian bisa berkelanjutan, diaplikasikan, sekaligus diawasi," ungkapnya.

Prof. Jamaludin mengungkapkan bahwa CTI (Coral Trader Inisiative) bisa diberlakukan di Indonesia. "Seharusnya sebagai wilayah dalam Coral Triangle, Indonesia bisa menjual terumbu karang lebih banyak, namun sekali lagi, hanya apabila dikelola dengan baik. Ada lima hal yang harus diperhatikan agar kita berhasil dalam CTI, yakni bentang laut dikelola secara bersama-sama, bukan per desa atau per kabupaten karena laut merupakan satu kesatuan.

Kedua, Indonesia harus lebih paham isi laut sebelum mengelola ekosistem. Ketiga, kelola kawasan konservasi laun dalam konteks networking (peneliti-aktifis-penentu kebijakan-pebisnis-masyarakat). Keempat adanya kesadaran bahwa spesies harus segera diperbaiki karena keragaman genetika adalah masa depan populasi manusia.

Terakhir, Indonesia harus peduli bahwa perubahan iklim sudah terjadi di laut Indonesia, misalnya dengan terjadinya coral bleaching di mana warna terumbu karang berubah karena polusi sehingga sulit untuk dijual.

Minggu, 17 Juli 2011

Sekolah untuk Apa?


oleh: RHENALD KASALI, Ketua Program MM UI

Beberapa hari ini kita membaca berita betapa sulitnya anak-anak mencari sekolah. Masuk universitas pilihan susahnya setengah mati.
Kalaupun diterima, bak lolos dari lubang jarum. Sudah masuk ternyata banyak yang “salah kamar”.

Sudah sering saya mengajak dialog mahasiswa yang bermasalah dalam perkuliahan, yang begitu digali selalu mengatakan mereka masuk jurusan
yang salah. Demikianlah, diterima di perguruan tinggi negeri (PTN) masalah, tidak diterima juga masalah. Kalau ada uang bisa kuliah di mana saja.

Bagaimana kalau uang tak ada? Hampir semua orang ingin menjadi sarjana, bahkan masuk program S-2. Jadi birokrat atau jenderal pun sekarang banyak yang ingin punya gelar S- 3. Persoalan seperti itu saya hadapi waktu lulus SMA, 30 tahun lalu, dan ternyata masih menjadi masalah hari ini.

Sekarang, memilih SMP dan SMA pun sama sulitnya. Mengapa hanya soal memindahkan anak ke sekolah negeri lain saja lantaran pindah rumah
biayanya begitu besar? Padahal bangku sekolah masih banyak yang kosong. Masuk sekolah susah, pindah juga sulit, diterima di perguruan tinggi untung-untungan, cari kerja susahnya minta ampun.

Lengkap sudah masalah kita. Kalau kita sepakat sekolah adalah jembatan untuk mengangkat kesejahteraan dan daya saing bangsa, mengapa dibuat
sulit? Lantas apa yang harus dilakukan orang tua? Jadi sekolah untuk apa di negeri yang serbasulit ini?

Kesadaran Membangun SDM

Lebih dari 25 tahun yang lalu, saat berkuasa, Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad sadar betul pentingnya pembangunan sumber
daya manusia (SDM). Dia pun mengirim puluhan ribu sarjana mengambil gelar S-2 dan S-3 ke berbagai negara maju.

Hal serupa juga dilakukan China. Tidak sampai 10 tahun,lulusan terbaik itu sudah siap mengisi perekonomian negara. Hasilnya Anda bisa lihat
sekarang. BUMN di negara itu dipimpin orang-orang hebat, demikian pula perusahaan swasta dan birokrasinya. Perubahan bukan hanya sampai di
situ.

Orang-orang muda yang kembali ke negerinya secara masif me-reform sistem pendidikan. Tradisi lama yang terlalu kognitif dibongkar. Old
ways teaching yang terlalu berpusat pada guru dan papan tulis, serta peran brain memory (hafalan dan rumus) yang dominan mulai ditinggalkan.

Mereka membongkar kurikulum, memperbaiki metode pengajaran, dan seterusnya.Tak mengherankan kalau sekolahsekolah di berbagai belahan
dunia pun mulai berubah. Di negeri Belanda saya sempat terbengong-bengong menyaksikan bagaimana universitas seterkenal Erasmus begitu mudah menerima mahasiswa.

“Semua warga negara punya hak untuk mendapat pendidikan yang layak, jadi mereka yang mendaftar harus kami terima,” ujar seorang dekan di
Erasmus. Beda benar dengan universitas negeri kita yang diberi privilege untuk mencari dan mendapatkan lulusan SLTA yang terbaik.

Seleksinya sangat ketat. Lantas bagaimana membangun bangsa dari lulusan yang asal masuk ini? “Mudah saja,” ujar dekan itu. “Kita potong di tahun kedua. Masuk tahun kedua, angka drop out tinggi sekali. Di sinilah kita baru bicara kualitas, sebab walaupun semua orang bicara hak, soal kemampuan dan minat bisa membuat masa depan berbeda,”ujarnya.

Hal senada juga saya saksikan hari-hari ini di Selandia Baru. Meski murid-murid yang kuliah sudah dipersiapkan sejak di tingkat SLTA, angka drop out mahasiswa tahun pertama cukup tinggi.Mereka pindah ke politeknik yang hanya butuh satu tahun kuliah. Yang lebih mengejutkan saya adalah saat memindahkan anak bersekolah di tingkat SLTA di Selandia Baru.

Sekolah yang kami tuju tentu saja sekolah yang terbaik, masuk dalam 10 besar nasional dengan fasilitas dan guru yang baik. Saya menghabiskan
waktu beberapa hari untuk mewawancarai lulusan sekolah itu masing-masing, ikut tour keliling sekolah, menanyakan kurikulum dan mengintip bagaimana pelajaran diajarkan.

Di luar dugaan saya,pindah sekolah ke sini pun ternyata begitu mudah. Sudah lama saya gelisah dengan metode pembelajaran di sekolah-sekolah
kita yang terlalu kognitif, dengan guruguru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai ratarata di atas 80 (betapapun stresnya mereka) dan sebaliknya memandang rendah terhadap murid aktif, namun tak menguasai semua subjek.

Potensi anak hanya dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan kemampuan mengopi isi buku dan catatan. Entah di mana keguruan itu muncul kalau sekolah tak mengajarkan critical thinking. Kita mengkritik lulusan yang biasa membebek, tapi tak berhenti menciptakan bebek-bebek dogmatik.

Kalau lulusannya mudah diterima di sekolah yang baik di luar negeri,mungkin guru-guru kita akan menganggap sekolahnya begitu bagus. Mohon maaf, ternyata tidak demikian. Jangankan dibaca, diminta transkrip nilainya pun tidak. Maka jangan heran, anak dari daerah terpencil pun di Indonesia, bisa dengan mudah diterima di sekolah yang baik di luar negeri.

Bahkan tanpa tes. Apa yang membuat demikian? “Undang-undang menjamin semua orang punya hak yang sama untuk belajar,” ujar seorang guru di Selandia Baru. Lantas, bukankah kualitas lulusan ditentukan input-nya? “Itu ada benarnya, tapi bukan segala-galanya,” ujar putra sulung saya
yang kuliah di Auckland University tahun ketiga.

Maksudnya,tes masuk tetap ada,tetapi hanya dipakai untuk penempatan dan kualifikasi. Di tingkat SLTA, mereka hanya diwajibkan mengambil
dua mata pelajaran wajib (compulsory) yaitu Matematika dan Bahasa Inggris. Pada dua mata pelajaran ini pun mereka punya tiga kategori:
akselerasi, rata-rata, dan yang masih butuh bimbingan.

Sekolah dilarang hanya menerima anakanak bernilai akademik tinggi karena dapat menimbulkan guncangan karakter pada masa depan anak,
khususnya sifat-sifat superioritas, arogansi, dan kurang empati. Mereka hanya super di kedua kelas itu, di kelas lain mereka berbaur.

Dan belum tentu superior di kelas lain karena pengajaran tidak hanya diberikan secara kognitif. Selebihnya, hanya ada empat mata pelajaran
pilihan lain yang disesuaikan dengan tujuan masa depan masingmasing. Bagi mereka yang bercita- cita menjadi dokter, biologi dan ilmu kimia
wajib dikuasai.

Bagi yang akan menjadi insinyur wajib menguasai fisika dan kimia. Sedangkan bagi yang ingin menjadi ekonom wajib mendalami accounting,
statistik,dan ekonomi. Anak-anak yang ingin menjadi ekonom tak perlu belajar biologi dan fisika. Beda benar dengan anak-anak kita yang
harus mengambil 16 mata pelajaran di tingkat SLTA di sini, dan semuanya diwajibkan lulus di atas kriteria ketuntasan minimal (KKM).

Bayangkan, bukankah citacita pembuat kurikulum itu orangnya hebat sekali? Mungkin dia manusia super.Seorang lulusan SLTA tahun pertama
harus menguasai empat bidang sains (biologi,ilmu kimia, fisika, dan matematika), lalu tiga bahasa (Bahasa Indonesia, Inggris, dan satu bahasa lain), ditambah PPKN, sejarah, sosiologi, ekonomi, agama, geografi, kesenian, olahraga, dan komputer.

Hebat sekali bukan? Tidak mengherankan kalau sekolah menjadi sangat menakutkan, stressful, banyak korban kesurupan, terbiasa mencontek,
dan sebagainya. Harus diakui kurikulum SLTA kita sangat berat. Seperti kurikulum program S-1 20 tahun lalu yang sejajar dengan program S-1
yang digabung hingga S-3 di Amerika.

Setelah direformasi, kini anak-anak kita bisa lulus sarjana tiga tahun. Padahal dulu butuh lima tahun. Dulu program doktor menyelesaikan di atas 100 SKS, sehingga hampir tak ada yang lulus. Kini seseorang bisa lulus doktor dalam tiga tahun. Anda bisa saja mengatakan, dulu kita juga demikian, tapi tak ada masalah kok!

Di mana masalahnya? Masalahnya, saat ini banyak hal telah berubah. Teknologi telah mengubah banyak hal, anakanak kita dikepung informasi
yang lebih bersifat pendalaman dan banyak pilihan, tapi datang dengan lebih menyenangkan. Belajar bukan hanya dari guru, melainkan dari segala resources.

Ilmu belajar menjadi lebih penting dari apa yang dipelajari itu sendiri,sehingga diperlukan lebih dari seorang pengajar, yaitu pendidik. Guru tak bisa lagi memberikan semua isi buku untuk dihafalkan, tetapi guru dituntut memberikan bagaimana hidup tanpa guru, lifelong learning.

Saya saksikan metode belajar telah jauh berubah. Seorang guru di West Lake Boys School di Auckland mengatakan, “Kami sudah meninggalkan old
ways teaching sejak 10 tahun lalu. Maka itu, sekolah sekarang harus memberikan lebih banyak pilihan daripada paksaan. Percuma memberi banyak pengetahuan kalau tak bisa dikunyah. Guru kami ubah, metode diperbarui,fasilitas baru dibangun,” ujar seorang guru.

Masih banyak yang ingin saya diskusikan,tapi sampai di sini ada baiknya kita berefleksi sejenak. Untuk apa kita menciptakan sekolah dan untuk apa kita bersekolah? Mudahmudahan kita bisa mendiskusikan lebih dalam minggu depan dan semoga anak-anak kita mendapatkan masa depan yang lebih baik.

Kamis, 07 Juli 2011

RUU Pendidikan Tinggi (PT)




Pada saat ini di Indonesia terdapat tidak kurang dari 3000 perguruan tinggi, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat, yang tersebar di seluruh wilayah negara. Pola desentralisasi melalui otonomi perguruan tinggi merupakan pilihan yang tidak terhindarkan. Namun, kenyataan juga menunjukkan bahwa tidak semua perguruan tinggi mampu untuk menjalankan otonomi perguruan tinggi, sehingga menyeragamkan pemberian otonomi kepada perguruan tinggi justru akan kontra produktif.

Perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah merupakan bagian dari birokrasi pemerintah. Akibatnya terjadi kekurangsesuaian, khususnya dirasakan dalam pengelolaan aspek keuangan dan kepegawaian. RUU ini memiliki tiga landasan, yaitu landasan filosofis,landasan yuridis dan landasan sosiologis.

Landasan filosofis, perlunya dorongan agar pendidikan tinggi menjalankan secara optimal peran kuncinya bagi kemajuan bangsa. Yaitu mencetak lulusan yang berkarakter, cerdas, dan terampil memajukan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Harapannya Pendidikan Tinggi mampu merespon perubahan dengan cepat dan dapat menggunakan sumberdayanya secara efisien dan efektif.

Landasan yuridis, sistem pendidikan nasional yang dijalankan perlu memiliki landasan pengelolaan yang kuat untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Landasan sosiologis, Perguruan tinggi selalu menjadi pilar bangsa dan motor perubahan sosial (agent of change) masyarakat. Perubahan konsentrasi peran memang terjadi, dari pendidikan, penelitian, kemudian peningkatan daya saing bangsa, namun peran utama perguruan tinggi selaku kekuatan moral (moral force), tempat pembelajaran (a house of learning), pusat kebajikan (a house of wisdom) tidak pernah ditanggalkan sesuai dengan nilai dasar akademik (academic value) yang dianutnya, yaitu pencarian kebenaran.

Tujuan dari UU PT adalah mengatur tata kelola perguruan tinggi dalam menjalankan fungsi penyelenggara pendidikan tinggi. Sedangkan kegunaan dari UU PT adalah memberikan dasar hukum yang kokoh bagi perguruan tinggi dalam menjalankan fungsi penyelenggara pendidikan tinggi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan daya saing bangsa.

Target dalam masa sidang IV DPR RI adalah mampu menyelesaikan kerangka Undang-undang yang terdiri dari XIV BAB, yaitu
BAB I KETENTUAN UMUM
BAB II ASAS, TUJUAN DAN FUNGSI
BAB III PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI
BAB IV PENDIRIAN, PERUBAHAN, DAN PENUTUPAN
BAB V PENGELOLAAN PERGURUAN TINGGI
BAB VI KETENAGAAN
BAB VII PERGURUAN TINGGI ASING DAN KERJASAMA INTERNASIONAL
BAB VIII PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI
BAB IX PENDANAAN DAN PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN TINGGI
BAB X PENGAWASAN
BAB XI PERAN SERTA MASYARAKAT
BAB XII KETENTUAN PIDANA
BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN
BAB XIV KETENTUAN PENUTUP

Isu Utama
• Mutu Pendidikan Tinggi
Mencakup kualitas pendidikan dan pemasukan Kurikulum Pancasila
• Biaya
- Bagaimana Pendidikan Tinggi dapat dijangkau masyarakat luas
- Terdapat tarik ulur tentang pembubaran BHMN.
- Dana yg dibebankan ke mahasiswa adalah 1/3 dari total biaya keseluruhan.
Jumlah biaya tiap Perguruan Tinggi tidak sama, hal ini menimbulkan celah bagi penentuan biaya keseluruhan pendidikan di masing-masing Perguruan Tinggi
• Relevansi dg dunia usaha
Banyaknya Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia meghasilkan banyak pengangguran Intelektual, karena dalam prakteknya, program studi yang dibentuk orientasinya belum jelas> dalam arti khusus, relevansi terhadap dunia usaha masih minim.
• Mahasiswa
Mahasiswa menjadi bagian penting dari RUU PT ini. karena objek yang dominan adalah mereka. Namun, mahasiswa diposisikan hanya sebagai anak didik yang tidak memiliki kekuatan dalam pengawasan terhadap rektorat. Salah satu penguatnya adalah memasukkan unsur mahasiswa ke dalam Majelis Pemangku

Minggu, 03 Juli 2011

Mengintip Pesan Allah


Perjalanan yg tak bisa kulupakan dalam episode hidup kali ini. Betapa tidak, semua berjalan tanpa bisa terfikir logika dan perhitungan matematis. Ya itulah namanya takdir. Ditengah riuknya ibukota yang padat akan manusia dan kendaraan, kucoba mencicil satu per satu untaian narasi yang coba kubuat dan ternyata telah ada yang membuatnya. Terkesan lucu, tapi tidak pantas kumenyebutnya lucu, bagaimana tidak? Lauhul mahfuz tlah mendokumentasikannya,sebuah narasi makhluk Allah dari episode demi episode.

Kaidah Dasar
Namun, ada beberapa lembar yang bisa menjadi catatan khusus dari Sang Khalik. Catatan itu berjudul, takdir sughro. Ada peluang-peluang yg diberikan Allah dalam bentuk ihtiar,doa dan tawakal. Bagaimana Allah menilai perilaku hambaNya dalam menghadapi ujian demi ujian. Kaidahnya adalah "innalillahi wa inna illaihi raaji'uun". Sejauh mana sang hamba ini bisa memaknai tidak hanya dalam kajian aksara, namun terbukti dalam aksi nyata dari jejak demi jejak kisah hidup yang dialaminya. Perjalanan demi perjalanan, memiliki benang merah yang sarat akan 'nilai Illahiyah'. "Dan nikmat Tuhan manakah yg kamu dustakan?" Begitu Allah berfirman yg tlah mengisyaratkan sebuah pesan kepada hambaNya.

Namun, sekali lagi memang makhluk yg bernama manusia ini tak seperti malaikat. Ia diberi nafsu, yg karnanya pula manusia bisa keluar dari koridor janjinya kepada Allah saat di 'langit'. Nafsu ini bisa membelenggu&menutup sang komandan bernama 'hati' untuk menerima nilai Illahiyah dalam hidupnya. Benang merah itu terdapat pada hikmah dari setiap jejak langkah. Karna tapak tilas ini menjadi rumus&pedoman bagi jejak langkah berikutnya. Sekali lagi, konsep ini hanya bisa dihayati jikalau anda bisa memahami makna "innalillahi wa inna illaihi raaji'uun",yg singkatnya berarti manusia harus senantiasa melibatkan Allah dalam setiap urusannya,karna sesungguhnya semua milik Allah dan kembali lagi kpd Allah.

Pesan Kunci Sang Khalik
Setiap peran yang dimainkan saat ini, sesungguhnya sarat akan petunjuk bagi peran-peran kita di medan laga berikutnya."Allah tidak akan membebani hambaNya diuar kemampuannya", demikian Allah berpesan kembali kepada manusia. Jangan patah arang,hai kawan yg mengalami ujian hidup berat. Yuk qt berhusnuzon bahwa, kita dianggap kuat sama Allah. Sebuah prestasi kan?Apa hubunganya dengan peran dalm panggung kehidupan? Setiap peran yang dimainkan, akan mendapat ujian dari Allah, kuat atau tidak? Masih beriman atau tidak? Putus asa atau tidak?Dalam setiap kelokannya, sarat akan hikmah,hikmah itu menjadi kunci bagi peran-peran kita selanjutnya. Coba renungkan kawan? Benar kan? Pada akhir prolog ini, terkhusus bagi aktivis,khusus lagi ADK,khusus lagi ABG(aktivis baru ghiroh)...jangan patah arang dengan ujian-ujian yang menghadang. Hadapi dengan kesabaran, dan libatkan Allah dalam setiap urusan. Masih yakin dengan Firman "Intanshurullaha wa yunshurkum wayutsabbit aqdaamakum" kan? Allah punya cara sendiri dalam mencintai hambaNya. Dan Allah punya banyak rahasia di balik ujian-ujian hidup ini.

Keadilan Sosial bagi Seluruh Nelayan Indonesia



Sila kelima Pancasila yang berbunyi “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, nampaknya baru menjadi simbol dalam dasar negara ini. Bulan Juni, menjadi bulan istimewa bagi terbentuknya Pancasila, dan hangat pembicaraan seputar pidato dari Presiden SBY, Megawati , dan BJ Habibie dalam peringatan Pidato Bung Karno. Hingga adanya wacana dari Mendiknas untuk menyusun kurikulum baru Pancasila.

Dalam bulan istimewa ini, harusnya menjadi keistimewaan perhatian bagi pemerintah, bahwa di kawasan pesisir Indonesia tersebar sejumlah 2,70 juta jiwa nelayan tradisional yang masih hidup dalam garis kemiskinan. Karena jika merujuk pada Pancasila pun, terutama sila kelima, seharusnya nelayan juga mendapatkan porsi perhatian yang adil dari pemerintah. Terlihat masih lemahnya legislasi dan kebijakan pemerintah yang canderung tidak berpihak kepada aktor utama penyedia protein hewani dari laut ini.

Merujuk pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 33 (3), bahwa sumber daya alam Indonesa menjadi taggung jawab pemerintah untuk mengelolanya bagi kemakmuran rakyat Indonesia. Realitanya, nelayan tradisional dihadapkan dengan dominasi pemilik modal yang dilindungi aturan Penanaman Modal Asing (PMA). Terjepit dan tak kuasa, nelayan tradisional mempunyai posisi kurang beruntung di dalam rantai tata niaga.

Dalam pasal lain, yaitu pasal 26 disebutkan bahwa warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Ditegaskan juga di Pasal 28H, “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak dan memadai. Semakin jelas, bahwa nelayan mempunyai hak yang sama dalam memperoleh kesejahteraan dan pelayanan dari pemerintah.

Aktor Utama Sektor Perikanan Indonesia

Indonesia sejatinya adalah negara kepulauan. Seharusnya, pijakan dasar pembangunan nasionalnya berbasis pada sumber daya kepulauan dan kelautan. Indonesia pernah jaya dengan kemaritimannya di jaman Majapahit. Berarti, nelayan merupakan aktor utama dan pernah mendapatkan kejayaan di masa itu. Namun, kini kejayaan itu terhempas jauh tak tau kapan akan mengalami kebangkitannya kembali.

Kegiatan perikanan tangkap pada tahun 2010 mampu menyerap tenaga kerja nelayan sebesar 2,70 juta jiwa. Adapun jumlah nelayan perikanan tangkap di laut sebesar 2,23 juta jiwa, sedangkan jumlah nelayan perikanan tangkap di perairan umum sebesar 0,47 juta jiwa. Menurut Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan tahun 2010, total potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) sumber daya perikanan di Indonesia diperkirakan sebesar 6,5 juta ton/tahun atau sekitar 7,2% dari MSY laut dunia (90 juta ton/tahun) . Sebuah kontribusi sumber daya yang tidak kecil, demikian juga peranan nelayan di dalamnya.

Lemahnya Perlindungan Pemerintah

Walaupun sebutan aktor utama telah menempel di pundak nelayan, namun mereka mengalami ketidakadilan dalam sistem rantai tata niaga. Hasil tangkapan ikan memiliki harga yang jauh lebih rendah dari harga ikan yang sama di konsumen terakhir, karena pendistribusian ikan tersebut harus melalui banyak pedagang perantara. Sangat wajar jika keuntungan paling besar diperoleh para pedagang perantara.

Dalam kondisi ini, nelayan juga masih mengalami ketidakadilan dalam rantai tata niaga pembelian sarana melaut, contoh: jaring dan BBM. Harga yang didapatkan nelayan jauh lebih tinggi dibadingkan harga pabrik, karena masih melalui padagang perantara. Memang secara struktural, kondisi nelayan benar-benar dalam keadaan marginal. Alih-alih berfikir tentang sejahtera, berfikir untuk makan anak istrinya saja sudah cukup bagi mereka.

Secara Legislasi, DPR RI telah membahas Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani . Ironinya, nelayan tidak masuk di dalam pengaturannya. Nelayan senasib dengan petani, sama-sama menjadi objek dari pemilik modal yang semakin memperkaya pribadinya. Senasib juga sebagai aktor utama produksi pangan yang terjebak didalam permainan ratai tata niaga.

Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Kelautan Perikanan (KKP), juga memberikan kebijakan yang menyayat hati nelayan. Kebijakan impor ikan yang diatur dalam Permen Kelautan Perikanan Nomor 17/Men/2010 hanya sebatas mengatur tentang mutu produk perikanannya saja, tanpa ada pengaturan jenis ikan yang diperbolehkan untuk diimpor. Sehingga, kebanyakan ikan impor adalah komoditas ikan lokal. Dalihnya, harga ikan impor lebih murah dari harga ikan domestik. Betapa terciderainya hati para nelayan tradisional, tidak ada payung hukum yang melindungi mereka secara ekonomi maupun jaminan keselamatan kerjanya.

Inilah realita salah satu bagian dari warga negara indonesia yang secara struktural dalam posisi termarginalkan. 2,7 juta jiwa bukan angka yang sedikit, perlu menjadi perhatian khusus bagi pemerintah untuk benar-benar memberikan perlindungan secara hukum maupun ekonomi. Jangan sampai negara kepulauan ini, pada akhirnya menjadikan nelayan sebagai bagian dari sejarah kelam masa lalu untuk dipelajari di sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Jumat, 01 Juli 2011

Diam Kuterpaku

Rasa yg tak pernah kurasa
Entah apa yg tlah terdampar dlm rasa ini
Diam terpana tak kuasa
Tak berdaya tanpa kata
Beribu tanya sesaki isi kepala

Engkau datang dalam siang ini
Panas yang tlah menjadi hujan
Dingin yang tlah menjadi hangat
Terdiam dalam riangnya canda
Terpaku melihat apa yang ada

Gatalnya mulut tuk ucap kata
Tertahan kondisi dalam kekakuan
Tercelup kekakuan yang terbungkus keharmonisan
Indah...namun bisu

Tunggu saatnya tiba
Rasa ini kan jujur untukmu
Tiada satupun yg dpt menjejalnya
Polos bagai bayi yg tlah lahir
Suci karna Sang Maha Cinta

Senyumanmu membuatku pilu
Tak bisa kuikuti senyum itu kemana perginya
Tak bisa kukejar kemana melambainya
Masih ada jarak yg menjangkau
Jarak yg kan ciptakan sucinya cinta ini


Sepur malam, 9/5/2011
Menuju jakarta

Kamis, 30 Juni 2011

Sketsa Cinta Untuk Pembela


Termenung dalam sujud
Terdiam dalam ketakjuban AgungNya
dua jiwa yang bersatu
dalam isyarat langit penuh makna

Kala dunia telah menyatukannya
dan manusia hanya bisa merencana
Kegalauan pun sirna
Dua jiwa tlah menyatu
dalam dekapan dien yang suci

Pertemuan dalam perjuangan
mendermakan jiwa dan harta
menggelorakan jaya dan agungnya Islam
mengusung kesucian adab dan kerahmatan ajaran
di sinilah separuh agama tlah tertunaikan
Di jalan dakwah ikatan agung itu terjalankan

Ketakjuban Ini

Hamparan sajadah terbentang
Dalam ketidakkuasaan diri
bersimpuh penuh harap

Keheningan malam, sarat akan makna
wujud kepasrahan hamba kepada Tuhannya
Tak terukur bagi diantara orang yang masih berselimut
pulas dan tak kenal akan isyarat Illahiyah

jiwa manusia yang lagi resah
belahan jiwa mana yang dapat menyandinginya
Dalam usaha yang pantang bersurut
Dalam segala kekurangan diri
mencoba meraih dari Tuan sang putri

Pasrah... selayaknya dedaunan yang dihembuskan angin
Tak berani melawan Sang Pemilik Kehendak
Lapisan yang tak bisa ditembus manusia
Tabir yang slalu menjadi misteri dunia fana

Jiwa yang gelisah, akan terus memandang ke atas
Kedua tangan yang meminta
Karna ia tak kuasa mengurusinya

Dalam ketakjuban ini...
Betapa takjubnya,Sang Penguasa Langit memberinya
Bagai hujan yang turun dari langit,
turun tanpa halangan...deras mengalir
Kuasa yang tak kan pernah bisa ditembus manusia
hanya bisa memohon atas Maha Keperkasaannya

Bekasi, 23/04/2011 04:31 WIB