Minggu, 03 Juli 2011

Keadilan Sosial bagi Seluruh Nelayan Indonesia



Sila kelima Pancasila yang berbunyi “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, nampaknya baru menjadi simbol dalam dasar negara ini. Bulan Juni, menjadi bulan istimewa bagi terbentuknya Pancasila, dan hangat pembicaraan seputar pidato dari Presiden SBY, Megawati , dan BJ Habibie dalam peringatan Pidato Bung Karno. Hingga adanya wacana dari Mendiknas untuk menyusun kurikulum baru Pancasila.

Dalam bulan istimewa ini, harusnya menjadi keistimewaan perhatian bagi pemerintah, bahwa di kawasan pesisir Indonesia tersebar sejumlah 2,70 juta jiwa nelayan tradisional yang masih hidup dalam garis kemiskinan. Karena jika merujuk pada Pancasila pun, terutama sila kelima, seharusnya nelayan juga mendapatkan porsi perhatian yang adil dari pemerintah. Terlihat masih lemahnya legislasi dan kebijakan pemerintah yang canderung tidak berpihak kepada aktor utama penyedia protein hewani dari laut ini.

Merujuk pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 33 (3), bahwa sumber daya alam Indonesa menjadi taggung jawab pemerintah untuk mengelolanya bagi kemakmuran rakyat Indonesia. Realitanya, nelayan tradisional dihadapkan dengan dominasi pemilik modal yang dilindungi aturan Penanaman Modal Asing (PMA). Terjepit dan tak kuasa, nelayan tradisional mempunyai posisi kurang beruntung di dalam rantai tata niaga.

Dalam pasal lain, yaitu pasal 26 disebutkan bahwa warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Ditegaskan juga di Pasal 28H, “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak dan memadai. Semakin jelas, bahwa nelayan mempunyai hak yang sama dalam memperoleh kesejahteraan dan pelayanan dari pemerintah.

Aktor Utama Sektor Perikanan Indonesia

Indonesia sejatinya adalah negara kepulauan. Seharusnya, pijakan dasar pembangunan nasionalnya berbasis pada sumber daya kepulauan dan kelautan. Indonesia pernah jaya dengan kemaritimannya di jaman Majapahit. Berarti, nelayan merupakan aktor utama dan pernah mendapatkan kejayaan di masa itu. Namun, kini kejayaan itu terhempas jauh tak tau kapan akan mengalami kebangkitannya kembali.

Kegiatan perikanan tangkap pada tahun 2010 mampu menyerap tenaga kerja nelayan sebesar 2,70 juta jiwa. Adapun jumlah nelayan perikanan tangkap di laut sebesar 2,23 juta jiwa, sedangkan jumlah nelayan perikanan tangkap di perairan umum sebesar 0,47 juta jiwa. Menurut Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan tahun 2010, total potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) sumber daya perikanan di Indonesia diperkirakan sebesar 6,5 juta ton/tahun atau sekitar 7,2% dari MSY laut dunia (90 juta ton/tahun) . Sebuah kontribusi sumber daya yang tidak kecil, demikian juga peranan nelayan di dalamnya.

Lemahnya Perlindungan Pemerintah

Walaupun sebutan aktor utama telah menempel di pundak nelayan, namun mereka mengalami ketidakadilan dalam sistem rantai tata niaga. Hasil tangkapan ikan memiliki harga yang jauh lebih rendah dari harga ikan yang sama di konsumen terakhir, karena pendistribusian ikan tersebut harus melalui banyak pedagang perantara. Sangat wajar jika keuntungan paling besar diperoleh para pedagang perantara.

Dalam kondisi ini, nelayan juga masih mengalami ketidakadilan dalam rantai tata niaga pembelian sarana melaut, contoh: jaring dan BBM. Harga yang didapatkan nelayan jauh lebih tinggi dibadingkan harga pabrik, karena masih melalui padagang perantara. Memang secara struktural, kondisi nelayan benar-benar dalam keadaan marginal. Alih-alih berfikir tentang sejahtera, berfikir untuk makan anak istrinya saja sudah cukup bagi mereka.

Secara Legislasi, DPR RI telah membahas Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani . Ironinya, nelayan tidak masuk di dalam pengaturannya. Nelayan senasib dengan petani, sama-sama menjadi objek dari pemilik modal yang semakin memperkaya pribadinya. Senasib juga sebagai aktor utama produksi pangan yang terjebak didalam permainan ratai tata niaga.

Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Kelautan Perikanan (KKP), juga memberikan kebijakan yang menyayat hati nelayan. Kebijakan impor ikan yang diatur dalam Permen Kelautan Perikanan Nomor 17/Men/2010 hanya sebatas mengatur tentang mutu produk perikanannya saja, tanpa ada pengaturan jenis ikan yang diperbolehkan untuk diimpor. Sehingga, kebanyakan ikan impor adalah komoditas ikan lokal. Dalihnya, harga ikan impor lebih murah dari harga ikan domestik. Betapa terciderainya hati para nelayan tradisional, tidak ada payung hukum yang melindungi mereka secara ekonomi maupun jaminan keselamatan kerjanya.

Inilah realita salah satu bagian dari warga negara indonesia yang secara struktural dalam posisi termarginalkan. 2,7 juta jiwa bukan angka yang sedikit, perlu menjadi perhatian khusus bagi pemerintah untuk benar-benar memberikan perlindungan secara hukum maupun ekonomi. Jangan sampai negara kepulauan ini, pada akhirnya menjadikan nelayan sebagai bagian dari sejarah kelam masa lalu untuk dipelajari di sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar