Senin, 20 Desember 2010

Konservasi Sumber Daya Laut yang Mensejahterakan Masyarakat Pesisir dan Menjaga Keseimbangan Produktivitas Alam

1. Analisa Masalah

Harapan baru tumbuh di Kepulauan Indonesia pasca Pemilu 2009. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melantik 34 menteri Kabinet Indonesia Bersatu Kedua dan tiga pejabat setingkat menteri. Tak terkecuali nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Mereka menaruh harapan besar kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Lebih dari sedasawarsa terlampaui, namun kehidupan nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tak kunjung sejahtera. Dalam banyak hal, penyelenggara negara justru kian membebankan kesukaran dan kian meminggirkan partisipasi aktif mereka dalam ragam rupa kebijakan yang minus keberpihakan sebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3), yakni “sumber daya alam yang dimiliki Indonesia dipandang sebagai kesatuan kewilayahan yang harus diperuntukkan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menyebutkan, bahwa warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara (Pasal 26). Di Pasal 28H, ditegaskan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak dan memadai.
Amanah konstitusi di atas seolah tak berlaku bagi kehidupan nelayan. Bayangkan saja, berhari-hari menerjang ganasnya ombak dengan taruhan nyawa, kerja keras mereka seakan tidak tertandingi. Berangkat malam pulang pagi atau sebaliknya berangkat pagi pulang malam pun mereka jalani. Ironisnya, kondisi dan kualitas hidup mereka tak beranjak lebih baik.
Belajar dari sejarah, pada dasarnya nelayan Indonesia memiliki kemampuan handal dalam menaklukkan lautan. Namun, sejarah tak lagi mencatat kehandalan nelayan. Kini, mereka dihadapkan pada persoalan-persoalan mendasar yang bersumber pada keengganan pemerintah untuk menjalankan amanah konstitusi.
Situasi nelayan tradisional yang terhimpit krisis ini akibat dari kebijakan pemerintah yang lebih berat kepada pengusaha dan pemilik modal.
Diskriminasi kebijakan ini menempatkan nelayan tradisional pada situasi yang tak setara. Mereka harus berhadapan dengan dominasi industri perikanan skala besar yang bertumpu pada investasi swasta dan penanaman modal asing (PMA). Akibatnya, kehidupan 90 persen dari total nelayan tradisional di Indonesia sulit lepas dari jerat kemiskinan (KIARA, 2010). Posisi yang sangat merugikan bagi nelayan ketika penerapan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-PPK) yang memberikan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) kepada pemilik modal. Pada kondisi ini , belum ada jaminan penerapan HP3 yang tetap memperhatikan keberlangsungan hidup para nelayan.
Persoalan lain yang tak kalah pentingnya adalah pencemaran lingkungan di wilayah perairan Indonesia. Tumpulnya upaya penegakan hukum di laut dan minimnya upaya pemerintah untuk memberantasnya, berdampak pada kian buruknya kualitas perairan Indonesia. Di perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, misalnya, ditemukan tumpahan minyak mentah (tarball) hampir tiap tahun. Laut tercemar tak hanya menggagalkan panen karamba apung, tapi juga berakibat makin sukarnya nelayan tradisional menangkap ikan di sekitar pesisir Teluk Jakarta.
Permasalahan tersebut di atas menjadi sesuatu yang tidak akan selesai ketika pendekatan masalahnya hanya struktural tanpa adanya pendekatan kultural, bahwa negeri ini adalah negeri bahari yang pernah ‘hebat’ di masa lalu. Maka konsekuensinya adalah adanya perubahan orientasi pembangunan, dari darat menuju ke laut. Dua permasalahan utama yang kami sampaikan di awal adalah kemiskinan nelayan dan pencemaran lingkungan merupakan sebagaian kecil dari isu tentang sektor kelautan.
Dalam paper ini, kami ingin menyampaikan salah satu alternatif solusi untuk mencegah pencemaran lingkungan pesisir dan laut, namun tetap memperhatikan kesejahteraan ekonomi masyarakat lokal. Pendekatan ini sering disebut dengan ekowisata. Fandeli (2000) mempunyai definisi tentang ekowisata sebagai berikut: ekowisata adalah suatu bentuk wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian area yang masih alami (natural area), memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat. Aspek mempertahankan keutuhan budaya setempat menjadi pembeda dari definisi yang dibuat oleh The International Ecotourism Society.


2. Visi

"Konservasi sumber daya laut yang mensejahterakan masyarakat pesisir dan menjaga keseimbangan produktivitas alam". Kalimat tersebut menjadi kalimat visi dari paper ini. Dalam penerapannya, kalimat tersebut diistilahkan dengan ekowisata. Karena yang digarap adalah wilayah pesisir dan laut, maka berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah, ekowisata semacam ini disebut ekowisata bahari.
Arti yang lebih spesifik dari visi ini adalah pada penerapan konsep ekowisata bahari. Konsep alternatif perpaduan dari kawasan konservasi dengan pariwisata. Cara berwisata model ini dituntut kesadaran akan konservasi lingkungan. Bukan menjadikan pengkaplingan area yang menutup akses masyarakat lokal untuk memasukinya, namun melibatkan masyarakat lokal untuk menjadi pengelola. Sehingga kebermanfaatan ekonomi dapat dirasakan masyarakat lokal.



3. Pemaparan Konsep

Konsep ekowisata telah dikembangkan sejak tahun 1980, sebagai pencarian jawaban dari upaya meminimalkan dampak negatif bagi kelestarian keanekaragaman hayati, yang diakibatkan oleh kegiatan pariwisata. Konsep ekowisata sebenarnya bermaksud untuk menyatukan dan menyeimbangkan beberapa konflik secara objektif: dengan menetapkan ketentuan dalam berwisata, melindungi sumber daya alam dan budaya, serta menghasilkan keuntungan dalam bidang ekonomi untuk masyarakat lokal (Kinnon, 1986).
Konsep wisata yang berbasis ekologi atau yang lebih dikenal dengan Ekowisata (Fandeli 1998 dan Nasikun 1999 dalam Fandeli 2000), dilatarbelakangi dengan perubahan pasar global yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada negara-negara asal wisatawan dan memiliki ekspektasi yang lebih mendalam dan lebih berkualitas dalam melakukan perjalanan wisata. Konsep wisata ini disebut wisata minat khusus .Wisatawan minat khusus umunya memiliki intelektual yang lebih tinggi dan pemahaman serta kepekaan terhadap etika, moralitas dan nilai-nilai tertentu, sehingga bentuk wisata ini adalah pencarian pengalaman baru (Fendeli, 2000).
Indonesia memiliki 17.000 pulau yang tersebar sepanjang 4.000 km di garis khatulistiwa, yang memiliki keragaman alam dan budaya. Hal tersebut menjadi nilai tambah dari Indonesia diantara negara-negara di Asia Tenggara. Selain itu, Iklim dengan sinar matahari yang selalu bersinar sepanjang tahun, dengan temperatur udara 22°C – 29°C (72F - 84F), beserta musim hujan yang terjadi pada bulan September-Januari dan musim kemarau pada bulan Februari-Agustus. Kondisi alam seperti ini menjadi potensi tersendiri yang memikat wisatawan. Indecon (2010) menyebutkan bahwa Indonesia mempunyai 50 taman nasional. Jumlah yang tidak sedikit ini menjadi potensi bagi penerapan ekowisata. Selain pada jumlah taman nasional, potensi 17.000 pulau yang memiliki keragaman budaya ini, menjadi ciri khas tersendiri di masing-masing kawasan.
Potensi ini selanjutnya dapat dikemas dalam bentuk wisata budaya peninggalan sejarah, wisata pedesaan dan sebagainya dimana wisatawan memiliki minat utuk terlibat langsung dan berinteraksi dengan budaya masyarakat setempat serta belajar berbagai hal dari aspek-aspek budaya yang ada (Fandeli, 2000 ).

Dampak positif dari kegiatan ekowisata antara lain menambah sumber penghasilan dan devisa negara, menyediakan kesempatan kerja dan usaha, mendorong perkembangan usaha-usaha baru, dan diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat maupun wisatawan tentang konservasi sumber daya alam (Dephut, 2008). Selain itu dampak sosial bagi masyarakat sekitar juga berdampak seperti yang dikemukakan Suhandi (2003), bahwa konsep ekowisata yang terdiri dari komponen pelestarian lingkungan (alam dan budaya), peningkatan partisipasi masyarakat, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal, telah diperkenalkan dan dikembangkan dengan sukses di banyak negara berkembang. Pengembangan ini selalu konsisten dengan dua prinsip dasar yaitu memberi keuntungan ekonomi langsung kepada masyarakat lokal serta turut andil dalam pelestarian alam.

4. Kajian Penerapan

Potensi alam Indonesia yang memiliki 17.000 pulau yang tersebar sepanjang 4.000 km di garis khatulistiwa dengan keanekaragaman alam dan budaya. Selain itu, Iklim dengan sinar matahari yang selalu bersinar sepanjang tahun, dengan temperatur udara 22°C – 29°C (72F - 84F), beserta musim hujan yang terjadi pada bulan September-Januari dan musim kemarau pada bulan Februari-Agustus. Indecon (2010) menyebutkan bahwa Indonesia mempunyai 50 taman nasional. Jumlah yang tidak sedikit ini menjadi potensi bagi penerapan ekowisata. Selain pada jumlah taman nasional, potensi 17.000 pulau yang memiliki keanekaragaman budaya ini, menjadi ciri khas tersendiri di masing-masing kawasan. Potensi tersebut menjadi modal dasar bagi penerapan ekowisata.
Berdasarkan pada RUU Kelautan, topik yang kami angkat dalam paper ini berhubungan dengan 4 bab yaitu :
a. Bab Tata Ruang Kelautan
Penataan ruang kelautan ditujukan selain untuk pelestarian dan pengembangan berbagai kegiatan yang berskala lokal daerah dan nasional, juga untuk mengembangkan kawasan-kawasan potensial menjadi pusat-pusat kegiatan produksi, dan distribusi, dan pelayanan yang penting berskala internasional. Dalam penataan ruang sebagai kawasan ekowisata bahari, harus secara terpadu dengan sektor-sektor yang lainnya. Sehingga tidak terjadi konflik keruangan dan kepentingan antar stakeholder.

b. Bab Pemanfaatan dan Pendayagunaan Laut
Perlu adanya koordinasi dan pemfasilitasan pengembangan pariwisata kelautan untuk menjadikan Indonesia menjadi salah satu kawasan pariwisata dunia. Pariwisata sudah menjadi industri tersendiri yang memegang peranan penting dalam perekonomian. Oleh karena itu, keterpaduan sektor-sektor terkait yang mencakup sarana dan prasarana, Ilmu dan teknologi, sumber daya manusia serta pendanaan perlu dilaksanakan dengan sebenar-benarnya.

c. Bab Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Kelautan
Penerapan Konservasi sumber daya alam hayati di laut dan ekosistemnya harus senantiasa melibatkan masyarakat local di dalamnya. Ketika suatu kawasan akan dijadikan area konservasi, dengan menutup akses masyarakat lokal ke dalamnya, akan menimbulkan konflik baru. Selain itu, hak masyarakat yang telah memiliki kawasana itu sejak lama menjadi hilang, padahal dari kawasan tersebut masyarakat menghidupi diri dan keluarganya. Untuk menanggapi hal ini, konsep ekowisata bahari menjadi alternatif solusinya.

d. Bab Sumber daya manusia dan budaya kelautan
Pemerintah perlu mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan Kelautan yang dilaksanakan sejak usia dini untuk menjadikan masyarakat dan bangsa memiliki budaya kelautan dan ketrampilan serta keahlian di bidang kelautan yang berdaya saing yang merupakan jati diri dari masyarakat, bangsa dan negara kepulauan berciri Nusantara. Hal ini harus dilaksanakan secara sistemik, yaitu pemasukan kurikulum-kurikulum tentang sejarah dan budaya beserta katrampilan di bidang kelautan ke dalam kurikulum wajib belajar 9 tahun. Proses edukasi tentang ekowisata bahari menjadi hal yang wajib juga di dalamnya.
Dasar dari pengambilan penerapan ekowisata bahari ini, berdasarkan pada 4 bab tersebut di atas, yang tertuang dalam RUU Kelautan. Adapun langkah-langkah penerapannya adalah sebagai berikut:


Proses legitimasi
Proses legitimasi ini dimaksudkan untuk mendapatkan pengakuan secara hukum tentang penerapan ekowisata bahari. Menjadi pendekatan awal kepada masyarakat lokal, sebelum melangkah pada proses sosialisasi dan edukasi. Ketika penerapan ekowisata bahari ini sudah memiliki dasar hukum yang jelas dan mengikat, maka akan memiliki nilai ‘kuat’ tersendiri di mata masyarakat.
Pelibatan stakeholder antar sektor sangat diperlukan, untuk mewujudkan kebijakan yang integral dan tidak tumpang tindih. Jika terjadi tumpang tindih aturan, masyarakat lokal yang akan menjadi korbannya. Bukan memberikan kesejahteraan ekonomi, namun malah menambah problem pada masyarakat lokal. Hal ini yang sampai sekarang masih terjadi pada penerapan kebijakan pembangunan kelautan.

Proses sosialisasi
Tahap berikutnya adalah sosialisasi kebijakan. Proses ini diperlukan agar terjadi input informasi yang sama tentang pengelolaan pesisir dan laut. Sosialisasi tidak hanya kepada masyarakat lokal, namun kepada stakeholder yang terkait, seperti : pihak swasta, tokoh masyarakat, akademisi. Stakeholder inilah yang akan memberikan investasi ide ataupun modal bagi pembangunan pesisir dan laut. Jika input informasinya sama, maka sinergisitas itu akanmenjadi lebih mudah diterapkan.

Proses edukasi
Semua program yang digulirkan kepada masyarakat, ketika tanpa adanya proses sosialisasi dan edukasi, maka yang sering terjadi adalah antipasti dari masyarakat itu sendiri. Karena mereka berfikir sangat praktis, yaitu adakah manfaat ekonominya? Kondisi perekonomian yang sangat memperihatinkan inilah yang melatarbelakangi pemikiran praktis ini.
Proses ini merupakan kelanjutan dari sosialisasi, yaitu proses pendampingan terhadap masyarakat sampai mereka mengetahui arti penting ekowisata dan mau berpartsipasi aktif dalam menerapkannya. Ekowisata bahari memiliki perhatian lebih terhadap konservasi ekosistem dan kesejahteraan ekonomi masyarakat lokal, sehingga proses pelibatan masyarakat lokal adalah menjadi hal yang mutlak untuk diterapkan. Dengan adanya 50 taman nasional yang terdapat di Indonesia, jika semuaya diterapkan konsep ekowisata, akan menjadi salah satu penguat perekonomian masyarakat pesisir (nelayan) dan akan menjaga keseimbangan produktifitas dari laut itu sendiri.

Penerapan
Pada tahap ini, masyarakat sudah mulai terlibat sebagai pengelolan ekowisata bahari yang bekerjasama dengan stakeholder yang terkait. Masyarakat lokal bisa memanfaatkan kebudayaan lokalnya sebagai bagian dari paket wisata dari ekowisata bahari ini. Selain itu, jika ada kerajinan rumah tangga, bisa menjadi sumber penghasilan alternatif. Hal ini dapat menjadi salah satu solusi ketika nelayan tidak melaut, ataupun jika melaut tidak mendapatkan hasil tangkapan yang untung, yaitu bisa menutup biaya tranportasi melaut dan mendapatkan uang lebih.
Letak perbedaan ekowisata dengan pariwisata secara umum adalah pada cara berwisatanya. Ada pembatasan jumlah pengunjung dan waktu berkunjung, Jika kawasan ekowisata tidak luas dan penduduk lokalnya sedikit, maka pengunjung diusahakan dalam kelompok kecil, 5-15 orang tiap kelompoknya. Hal ini akan memudahkan dalam pengawasan dan tidak mengganggu satu dengan yang lainnya. Apabila pengunjungnya dalam jumlah besar, maka akan mengganggu kenyamanan dari setiap pengunjung yang datang. Wisatawan juga diberikan arahan tentang berwisata yang konservatif terhadap lingkngan, sebelum mereka terjun ke lapangan.

Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi menjadi sangat penting dalam penerapan ekowisata bahari. Perlu adanya peninjauan dan evaluasi keberjalanannya, agar mendapatkan formulasi perbaikan demi perbaikan. Sehingga yang menjadi tujuan ekowisata, mengkonservasi ekosistem dan memberikan kesejahteraan ekonomi masyarakat lokal dapat terwujud.
5. Mitigasi Resiko
Hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus sebagai antisipasi resiko adalah sebagai berikut:
a. Konflik kepentingan
b. Antipati dari kelompok masyarakat
c. Pemilihan paket tour yang tepat

Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan ini sering terjadi diantara pemilik modal dan stakeholder lainnya. Peran pemerintah adalah sebagai fasilitator, agar terjadi keseimbangan dalam tugas dan perannya. Jika hal ini dibiarkan, maka yang menjadi korbannya adalah masyarakat lokal.
Konflik kepentingan ini dapat dicegah ketika dalam proses legitimasi aturan. Pada proses ini diperlukan pelibatan semua fihak yang berkepentingan di dalamnya, sehingga ketika diambil keputusan bersama akan menjadi kesepahaman bersama pula. Untuk antisipasi adanya bentuk kecurangan dalam pelaksanaan di lapangan, maka pihak Kepolisian juga harus aktif ikut berperan dalam penertibannya. Dalam konteks ini terdapat batasan masalah, yaitu solusi yang diberikan adalah pada kondisi sumber daya manusia yang sadar hukum dan tidak korup, sehingga fungsi masing-masing lembaga pemerintah dapat berjalan sebagaiman fungsinya.

Antipati dari Kelompok Masyarakat
Kelompok antipati terhadap suatu kebijakan adalah ‘lumrah’ adanya. Kondisi ini bisa diantisipasi dengan pelibatan semua pihak yang berkepentingan, dengan pendekatan pada tokoh-tokoh kunci di masing-masing kelompok. Pendekatan ini adalah proses edukasi terhadap ekowisata bahari, bukan pada proses negosiasi berbagi keuntungan proyek.

Pemilihan Paket Tour yang Tepat
Marketing sangat mutlak diperlukan, untuk mengikat para wisatawan. Pemilihan paket tour menjadi kunci dari keberhasilan bisnis ini. Oleh karena itu, pengenalan terhadap medan dan kerja-kerja marketing yang ekstra keras dan cerdas dalam membidik wisatawan adalah mitigasi resiko yang dilakukan untuk menarik wisatawan.


6.Rekomendasi
a.Konsep ekowisata perlu menjadi point khusus dalam RUU Kelautan
b.Pembangunan kelautan secara terpadu, dengan melibatkan semua sektor, menjadi faktor yang mutlak dilakukan. Karena wilayah pesisir merupakan pertemuan antara darat dengan laut, sehingga banyak aspek bertemu di kawasan ini.
c.Pemasukan konsep ekowisata di dalam kurikulum pendidikan dasar
d.Pembangunan wilayah pesisir dan laut harus berorientasikan pada kesejahteraan masyarakat (nelayan)


Daftar Pustaka

Ayob, A. 2003. Monitoring Costs and Benefits of Tourism: The Case of Langkawi. In: Seminar Ekspedisi Saintifik Dan Khazanah Alam Langkawi 2003. Malaysian Nature Society and LADA, Malaysia.

Dephut. 2008. Kemungkinan Meningkatkan Ekowisata. http:// www.dephut.go.id (September, 2009).

Draft XVII Refisi 14. Rancangan Undang-Undang Kelautan. Kementerian Kehakiman dan HAM Republik Indonesia.

Fandeli, C. 2000. Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan UGM kerjasama dengan Unit KSDA Daerah Istimewa Yogyakarta. Pustaka Pelajar Offset,Yogyakarta.

http://www.indecon.or.id (November 2010).

Kiara. 2010. Potret Kebijakan Kelautan, Perikanan, dan Pesisir 2010 http://www.kiara.or.id (November 2010).

MacKinnon, J. K., G. Child and J. Thorsel. 1986. Managing Protected Areas in Tropics. International Union for Conservation of Natural Resources/ United Nations Environmental Programme, Canada.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah. 2009. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 2007. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

Mengulang Definisi Iman

Iman diartikan “iqraru bil lisan was tashdiqu bil qalb, wa’amalu bil arkan”. Mengartikannya tidak hanya terbatas pada lisan ataupun hati yang penuh keyakinan, namun ada suatu gerakan aktif dari akumulasi energi keyakinan lisan dan hati yang menjadi tindakan nyata yang disebut ‘amal shaleh’. Energi yang bersumber dari kekuatan jiwa yang dahsyat inilah yang akan menimbulkkan kekuatan yang luar biasa, yang sering kita jumpa si Fulan dengan IPK yang minimal 3,00, menjadi aktivis kampus bahkan menjadi mas’ul di lembaga mahasiswa, mempunyai binaan yang lebih dari satu dan itu produktif, tidak bergantung pada orang tua secara finansial, serta yang tidak kalah penting adalah sholeh/sholihah. Subhanallah.
Setiap pribadi muslim harus meyakini bahwa nilai iman akan terasa kelezatannya ketika secara nyata dimanifestasikan dalam bentuk amal shaleh atau tindakan kreatif dan prestatif. Karena Iman ini menjadi energi batin yang memberikan cahaya pelita untuk mewujudkan identitas diri sebagai bagian dari umat yang terbaik, kuntum khaira ummah, ukhrijat lin-naasi (Ali Imran: 110).
Amal shalih ini yang membedakan keyakinan seorang muslim dengan keyakinan yang dimiliki oleh iblis. Iblis telah lebih dahulu melihat dengan nyata keberadaan Allah swt, ketika Allah swt memberikan perintah kepada iblis untuk memberikan penghormatan kepada Adam a.s dalam simbol sujud. Dengan kecongkaannya, iblis pun tanpa rasa takut membangkang dan menantang perintah Allah swt tersebut (Al Israa’: 61, Thaahaa:116, Al-Hijr: 33). Terbayangkan pada satu sisi, seorang manusia yang belum pernah melihat Allah swt secara nyata, terdesak dengan pemahaman iman hanya terbatas pada yakin dengan lisan dan hati. Fenomena ini yang akan menimbulkan pertanyaan, seberapa besar komitmen manusia untuk beriman kepada Allah azza wa jalla?
Kata iman harus diterjemahkan lebih nyata dan spesifik. Iman berarti menempatkan diri secara merdeka, membebaskan diri dari segala belenggu ikatan kecuali mengikat diri dengan penuh cinta kepada Allah. Dan Iman merupakan bukti keberpihakan dirinya kepada Allah dan RasulNya sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits. Dalam AlQur’an sendiri, telah disebutkan kata aamanuu sebanyak 285 kali yang sebagian besar dirangkaikan dengan kata kerja ‘amiluush-shaalihaat’ yang mengerjakan amal shaleh.
Anthony Robin, pengarang dan seorang motivator memberikan penjelasan, “you see in life, lots of people know what to do, but few people actually do what they know. Knowing is not enough! You must take action. ‘lihatlah, dalam kehidupan ini banyak orang yang tahu apa yang seharusnya dikerjakan, tapi sedikit sekali yang mengerjakan apa yang dia tahu. Tahu saja tidak cukup! Anda harus berbuat’.”
Abu Sa’id al kharraz, seperti yang ditulis Imam al Qusyairi, berkata, “Siapa saja yang menduga bahwa apabila seseorang mencurahkan tenaganya untuk mencapai tujuan, berarti ia tertolong. Barangsiapa yang menduga tanpa jerih payah ia akan meraih tujuannya, berarti ia hanya berangan-angan!”. Rasulullah saw bersabda, “Athibba kasbaka tustajab da’watuka ’perbaikilah pekerjaanmu niscaya doamu dikabulkan’.”(HR Thabrani).
Islam bukanlah sekedar konsep normatif ideal , melainkan juga sebuah bentuk praktek dari amal aktual, amal yang nyata. Islam bukan ajaran teoritis ataupun sederetan ritual peringatan yang terlepas dari ruh yang sebenarnya, yaitu beramal shaleh. Islam bukanlah agama langitan, namun sekaligus agama yang dapat membumi (workable). Tampaklah bahwa penghargaan islam terhadap budaya kerja bukan sekedar penghias retorika, pemanis pidato, indah dalam pernyataan namun kosong dalam kenyataan. Akhirnya , bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman, bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim, melainkan sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai ‘hamba Allah’ yang didera kerinduan yang menderu-deru untuk menjadikan dirinya sebagai sosok yang bisa dipercaya (al amin, amanah). Di tangan orang beriman sesuatu apa pun tidak mungkin cacat atau rusak sehingga pantaslah orang tersebut diberi /menerima amanah karena dia sudah membuktikan dirinya sebagai seorang yang credible and creditable.
Wallahua’alam.